Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2017

Setelah Sampai Rumah

Ada orang yang karena sandalnya hilang serasa Lampu mercusuar mencuri pelabuhan pada sampan kehidupannya. Ada orang yang sebelum sampai ke bulan Tidak akan pernah berhenti meneruskan perjalanan. Ada orang yang sebelum tahu isi hati berang-berang Masih tetap berlari dan tak lelah berjuang. Ada orang yang hanya memeluk guling sambil menatap keluar jendela, Enggan melangkah karena terlalu banyak rasa takut pada belukar dan lara. Ada orang yang menangis sambil tertawa kala hujan membasah, Melemparkan ragu secara sporadis tanpa tahu cara berpasrah. Ada orang yang senantiasa mengejar hadiah, Seimbalan serta hak dari segala jerih payah. Ada orang yang suka membangun rumah mewah, Lalu dengan bangga meratakannya kembali dengan tanah. Ada orang yang lebih suka menghabiskan sisa usia di puncak Himalaya Atau memandang gemerlip bintang di samping piramida. Ada orang yang hanya dengan sesuap roti Sudah sangat memberi arti. Ada orang yang muak dengan debu jala

Surat Terakhir

Aku tuliskan surat ini. Ketika aku menyadari, ada beberapa hal yang tidak harus diikut sertakan untuk melanjutkan hidup. Ketika aku menyadari, ada bagian dari dalam diri yang aku harus rela lepaskan untuk meringankan langkah menuju masa depan yang aku maupun kamu tidak akan pernah tahu seperti apa. Ketika aku menyadari, jika dengan menggendong harapan untuk bisa bersamamu memberatkan langkahku, maka aku harus rela melepaskan harapan itu pula. Aku akui, aku mencintaimu. Dengan berbagai macam alasan mendasar, aku berhasil menumbuh-kembangkan cintaku padamu. Bisa jadi, cintaku padamu tak lekang oleh waktu. Cintaku padamu pasti awet, dalam setiap goresan rasa yang tertuang dalam puisi-puisi, dalam sajak-sajak yang aku yakin usianya lebih panjang dari usiaku. Cintaku padamu terwakili oleh ribuan kata yang sempat dan yang tidak sempat aku curahkan padamu. Sajak-puisi yang aku ingin seluruh makhluk bumi membacanya, lalu menyimpulkan, bahwa ada seorang laki-laki yang mencintaimu begit

Paduka

Aku ingin jujur pada nestapa: Suka-duka, s udah tak bisa dijelaskan oleh kata. Dentuman meriam entah sirna, k arena telinga tuli sejak lama. Tidak siang ataupu malam a ku terdiam di balik pualam. Mengamati, sebelum tergelar mati. Menangis bukan tentang air mata gerimis. Menjerit, tidak mampu melepas masa sulit. Kira-kira, d ia sudah terbiasa hidup bagaikan raja. Sedangkan di kehidupannya yang lain, Dia kadung terlena pada selembar kain y ang tergeletak di tepi pembaringan. Paduka, a pa yang sebenarnya kau terka? Inginmu, bagai angin. Tuturmu, beriak ombak pasang lautan. Kala rembulan elok di balik cakrawala, Ombak atau badai tiada beda. Bangsat! Paduka berlalu setelah menyapu segalanya, a tau paduka sekedar menyampaikan, bahwa: Kejadian harus ada perantara. Paduka seolah berdiri di sana, perantara. Bau rinduku pudar perlahan, paduka. Aku tanggalkan pula rasa cemas yang sempat memeras. Bajingan! Paduka tak sembuh setelah purnama mulai lusuh, t erkub