Ketika Mempuisikan Kamu
AH! Aku kira kisah percintaanku sudah selesai,
atau jangan-jangan belum dimulai sama sekali.
Sedang cinta telah berkali-kali menyapa,
Sesekali datang dengan irama terbaiknya,
Sesekali hanya mendendangkan suara-suara keraguan.
Tidak terlalu berlebihan jika merasa kegerahan,
Karena mulut sudah enggan mengucap sumpah.
Aku selalu saja mengatakan
Kalau cinta dan percintaan itu berbeda sama sekali.
Tetapi tetap saja ketika cinta mengalun
Entah sumbang atau merdu
Aku ingin sekali segera mencumbumu
Atau segera melepaskanmu.
AH! Kamu datang, menghentikan gerak tanganku.
Segera aku pungut kembali sisa mimpi semalam, dalam
mimpiku, ketika sinar mentari hanya mengintip dari sela-sela mendung, dan
mendung belum berani menyimpulkan hujan, hanya sedikit bercengkrama dengan
angin. Akan tetapi mendung tidak lantas pergi dan tetap berdiam di tempat malah
selayak manaungi, tepat di atasku yang terpana menatapmu yang melangkah
menghampiriku. Kamu tidak berhasil menyembunyikan segala pesona dan keanggunan
dirimu. Aku bisa melihat rambut kuncir kudamu dari balik kerudungmu, aku bisa
mendengar merdua suaramu ketika memanggilku. “Mas”, aku bisa menerjemahkan
puisi-puisi pada setiap jengkal tubuhmu, aku bisa mengartikan gaun putih penuh
manik-manik yang kamu kenakan. Kamu melangkah menghampiriku, melewati rindang
pepohonan yang senantiasa menggodamu untuk singgah, berteduh di bawahnya adalah
tawaran yang sulit ditolak. Kamu tetap terus melangkah menghampiriku,
mengabaikan rayuann pepohonan yang nampak menyejukkan penuh kenyamanan. Entah
apa yang kamu pikirkan, terus melangkah menghampiriku, aku yakin kamu melihat
aku berpayung awan mendung, sewaktu-waktu hujan bisa tersimpulkan,
sewaktu-waktu guntur bisa menggelegar.
Entah apa yang kamu pikirkan, terus melangkah
menghampiriku, malah kamu simpulkan senyuman di bibir ranummu. Setiap kamu
simpulkan senyuman, angin berhembus penuh kemesraan. Kamu datang, datang bagai
ombak menyapu pantai, riaknya, beberapa tertinggal ditepian, sulit untuk
dipungut, sulit juga untuk dikembalikan kepada sang ombak. Kamu datang, datang
bagai Aphrodite yang menyelamatkan Eros dari kejaran Thypoon. Aphrodite rela
berkorban demi Eros dengan permintaan agar ia dan Eros berubah menjadi ikan dan
bersembunyi di sungai Euphrates. Kamu datang, datang dalam wujud pesan digital,
tak bersuara, dengan rupa soft, hanya nampak oleh mata namun membekas di
kepala. Ya pagi ini
kau menyapaku melalui pesan digital.
Kini, jarak sudah terpotong. Terpotong oleh kendaraan
bertenaga mesin, motor, mobil hingga pesawat tebang. Terpotong lebih banyak
lagi oleh frekwensi, beranak menjadi gelombang sinyal dengan bantuan simcard,
lalu berkembang menjadi jaringan internet hingga tercipta dunia baru, dunia
maya. Dunia maya mereplika dunia nyata, meminiatur dunia nyata, memotong segala
jarak, memangkas habis waktu tempuh merpati pengantar surat. Kini kamu sudah
berdiri tepat di hadapanku, sudah hampir tidak ada lagi jarak antara kamu dan
aku, hanya tinggal sepersekian detik dan
sepersekian energi untuk memelukmu yang menjadi jarak antara aku dan kamu.
Kamu menatapku teduh, kamu menghiraukan mendung di atas
kepalaku, di atas kepala kita. Kamu menghiraukan hujan yang sewaktu-waktu bisa
tersimpulkan, kamu menghiraukan guntur yang sewaktu-waktu menggelegar. Atau
kamu berpikir seperti ini? “Mendung adalah doa-doa, mendung adalah upaya, hujan adalah resiko dan jerih
payah, dan guntur adalah penerang dan pengingat. Karena setelah mendung, hujan,
dan guntur tanah menjadi subur, rerumputan tumbuh sambil menari, pepohonan
riang bernyanyi. Aku, dan kini bersamamu di bawah mendung, dengan segala dingin
dan sejuknya, dengan segala basah dan suburnya. Apa kau ingin mengingatkan aku
kalau ternyata di dunia ini bukan hanya ada keteduhan, kesejukan, dan
kenyamanan, tetapi juga ada dingin, dan basah? Mungkinkah itu alasanmu
mengabaikan rayuan pepohonan yang sudah pasti menyejukkan dan penuh kenyamanan?
Karena, di bawah mendung, setelah hujan membasah mungkin untuk tumbuh pepohonan
yang lebih nyaman, atau justru pepohonan akan mati terseret hujan pemanggil
banjir.”
Itulah mimpiku semalam, sebelum akhirnya aku putuskan
untuk membiarkan pesan digitalmu dan melanjutkan gerak tanganku.
AH! Kamu datang,
Kamu adalah ruang
dan waktu,
Mungkin untuk memelukku,
Atau mungkin hanya untuk menyapaku.
Setiap kedatangan adalah meruang dan mewaktu,
Menjelma menjadi setiap lekukan perlakuan kasih,
Menjelma menjadi butiran bintang di sanubari.
Setiap cinta tidak selalu tentang percintaan,
Kadang percintaan tak perlu cinta sebagai landasan.
Senyatanya, setiap cinta pasti meruang dan mewaktu.
Bisa hanya untuk dikenang sebagai masa lalu,
Atau menjadi teman sepanjang waktu.
Namun sebetulnya, cinta bukan semata soal ruang dan
waktu.
Sejenak aku beristirahat, dari susunan kata yang aku
rencanakan menjadi puisi. Sejenak aku kembali terbangkan anganku, menujumu.
Membaca dan menafsirkan setiap puisi yang melekat pada dirimu.
Ini tentangmu, perempuan yang berhasil meruntuhkan laju
logika. Aku tidak akan pernah memprotes gaun apa yang engkau kenakan, akan
nampak cocok melekat di tubuhmu. Tidak akan pernah mempertanyakan merek
bedakmu, karena tanpa bedakpun kamu sudah mempesona, tanpa perlu pensil alis,
tanpa perlu maskara, tanpa perlu gincu untuk membuat bibirmu merekah, biarpun
agak kehitaman, aku setulus hati bersedia mengecupnya. Tidak akan pernah
mengkritik model rambutmu, toh kamu berudung. Penampilanmu tak akan pernah aku
permasalahkan, aku masih percaya, raga mereprentasi apa yang ada di dalamnya,
jiwa. Aku lebih senang melihat hitam kulitmu, namun engkau masih rela membantu
sesama. Aku lebih rela melihat kusam wajahmu, namun engkau masih bersedia
menatapkannya kepada Kebahagian. Aku lebih rela memeluk tubuhmu yang semakin gendut,
namun engkau masih bersungguh-sungguh membawanya kepada kebaikan. Dan engkau
masih bersedia menemaniku saja aku itu sudah cukup.
Ini tentangmu, perempuan yang menawarkan kebesaran hati.
Seharusnya kamu tahu, kalau manusia diciptakan bukan hanya untuk saling mengasihi secara
individu, tetapi saling mengasihi secara keseluruhan. Bukan hanya kamu habiskan
kasihmu untuk mengisihiku, namun bagikan juga kasihmu kepada seluruh manusia,
asalkan engkau tidak pernah lupa untuk mengasihiku. Egois memang, namun akupun
akan melakukan hal yang sama. Adakalanya kita menempatkan seseorang di ruangan
paling istimewa dalam system limbik, karena tidak mungkin juga kita memasukkan
setiap orang ke dalamnya, bisa sesak. Namun jangan juga setelah kasih kita sediakan untuk seseorang lantas kita tutup rapat diri
kita untuk orang
lain, bisa-bisa pegal linu.
Ini tentangmu, perempuan yang penuh kenyamanan. Bukan
tentang bagaimana masa lalumu, namun bagaimana caramu memandang masa depan, dan
memperlakukan masa sekarang. Jika digrafikan, semakin hari rasa nyamanku padamu
semakin tinggi. Bukan karena perhatianmu padaku, karena aku tahu kamu juga
menyediakan perhatian lain kepada manusia lain. Justru itu yang aku suka, kamu
membiarkanku bergerak bebas untuk mengasihimu, dan kamu pun bergerak bebas
mencintaiku. Itu yang membuatku nyaman. Kamu mengingatkan kembali akan
kata-kata usang yang dulu pernah aku agungkan, kira-kira begini kata-katanya.
“Kenyamanan bukan soal ruang dan waktu, bukan juga soal seseorang yang
mendampingimu. Seindah apapun pemandangan, secerah apapun cuaca, dan sesayang
apapun kita kepada seseorang, kita tidak akan pernah merasa nyaman jika kita
tidak pernah merasa nyaman dengan diri kita sendiri. Krikil datang mengganggu
bukanlah hambatan jika rasa nyaman sudah kita sediakan nyaman dalam diri.
Kenyaman ada dalam diri kita sendiri.” Kamu senantiasa menawarkan kenyaman, di
manapun, dan kapanpun.
Aku kembali melanjutkan menyusun kata demi kata yang aku
rencakan menjadi puisi.
AH! “I’ll be there as soon as I can
But I’m bussy mending broken
Pieces of the life I had before.”
Sudah di depan mata jalan terjal berliku menggoda hati,
Aku sudah terlampau sampai di sini.
Bukan perkara mudah untuk mendaki,
Namun butuh bantuan badai untuk kembali.
Jangan kira aku sudah punya peta, kompas pun aku ragu
menggunakan.
Yang aku punya hanya senter dan beberapa bekal makanan.
Entah, puisiku tak jelas arahnya dan kenapa aku pun
menyisipkan sepotong lirik lagu berjudul Unintended. Aku segera
menghentikannya, lantas mencoba kembali menerbangkan angan. Memakimu sepuasku.
Maaf ya.
Seperti burung yang pada mulanya takut terbang, akupun
demikian. Ketakutan hanyalah otot mental yang belum terlatih. Ketika kita
takut, kita adalah burung kecil yang belum bisa terbang, masih takut untuk
melebarkan sayap, masih takut mengepakkan sayap untuk terbang, masih butuh
bimbingan sang induk untuk terbang. Jadi jangan dikira juga aku tidak takut
tidak bersamamu, lebih dari apapun yang akan menimpaku, itu ketakutan
terbesarku untuk masa lajangku. Seperti apapun masa lalumu aku tidak pernah
mempermasalahkannya. Akupun punya masa lalu, entah baik atau buruk. Namun
setahuku, prinsip hidup seharusnya, hari esok lebih baik dari hari ini dan hari
ini harus lebih baik dari hari kemarin. Setiap manusia punya masalalu yang
ingin diperbaiki, aku menghargai masalalumu, aku ingin menemani masa sekarangmu
sampai masa depanmu. Ini bukan janji, tetapi ini adalah upaya.
Sampailah
aku pada bait terakhir mempuisikanmu.
AH! Sederet kisah percintaan akan selalu terkenang.
Yang manis membuat tersenyum.
Cukup manis saja yang dikenang,
Jangan relakan diri kehilangan senyum.
AH! Kamu adalah
ruang dan waktu.
Ruang untuk selalu bersama menebar kasih sayang,
dimanapun.
Waktu untuk selalu bersama penuh cinta, kapanpun.
Lalu kita sama-sama terjemahkan tiga kata purba,
Kasih, sayang, dan cinta..
Berintan, April 2016
Komentar
Posting Komentar