Paduka



Aku ingin jujur pada nestapa:
Suka-duka, sudah tak bisa dijelaskan oleh kata. Dentuman meriam entah sirna, karena telinga tuli sejak lama. Tidak siang ataupu malam aku terdiam di balik pualam. Mengamati, sebelum tergelar mati. Menangis bukan tentang air mata gerimis. Menjerit, tidak mampu melepas masa sulit.
Kira-kira, dia sudah terbiasa hidup bagaikan raja. Sedangkan di kehidupannya yang lain, Dia kadung terlena pada selembar kain yang tergeletak di tepi pembaringan. Paduka, apa yang sebenarnya kau terka? Inginmu, bagai angin. Tuturmu, beriak ombak pasang lautan. Kala rembulan elok di balik cakrawala, Ombak atau badai tiada beda.
Bangsat! Paduka berlalu setelah menyapu segalanya, atau paduka sekedar menyampaikan, bahwa: Kejadian harus ada perantara. Paduka seolah berdiri di sana, perantara. Bau rinduku pudar perlahan, paduka. Aku tanggalkan pula rasa cemas yang sempat memeras.
Bajingan! Paduka tak sembuh setelah purnama mulai lusuh, terkubur di balik awan, mendung aku kira. Nampak dari cahaya halilintar berkilau. Benar, itu awan mendung. Ada halilintar, dan guntur riang senggama. Kelar sudah seluruh rindu, paduka. Aku tanggalkan harap yang pernah menjadi jeruji pengap.
Paduka, Konon aku lah sang hamba, namun aku punya kehendak pula. Semoga aku tidak mengikutimu, terlebih perangaimu.
Sudah! Paduka, silahkan perbanyak minum air putih, Syukur sudah kau aji-ajikan mantra terkasih.

MAN. Berintan, April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bermain Tarik-Tarikan #2

Kisah Cinta

Pendakian

Alasan Mencintaimu

Surat Terakhir

Mari Bermain Tarik-Tarikan #7

Rumah 2

Sejak Aku Mencintaimu

Setelah Sampai Rumah

Ketika Mempuisikan Kamu