Surat Terakhir



Aku tuliskan surat ini. Ketika aku menyadari, ada beberapa hal yang tidak harus diikut sertakan untuk melanjutkan hidup. Ketika aku menyadari, ada bagian dari dalam diri yang aku harus rela lepaskan untuk meringankan langkah menuju masa depan yang aku maupun kamu tidak akan pernah tahu seperti apa. Ketika aku menyadari, jika dengan menggendong harapan untuk bisa bersamamu memberatkan langkahku, maka aku harus rela melepaskan harapan itu pula.

Aku akui, aku mencintaimu. Dengan berbagai macam alasan mendasar, aku berhasil menumbuh-kembangkan cintaku padamu. Bisa jadi, cintaku padamu tak lekang oleh waktu. Cintaku padamu pasti awet, dalam setiap goresan rasa yang tertuang dalam puisi-puisi, dalam sajak-sajak yang aku yakin usianya lebih panjang dari usiaku. Cintaku padamu terwakili oleh ribuan kata yang sempat dan yang tidak sempat aku curahkan padamu. Sajak-puisi yang aku ingin seluruh makhluk bumi membacanya, lalu menyimpulkan, bahwa ada seorang laki-laki yang mencintaimu begitu indah dan luar biasa.

Sempat aku ingin menantangmu, carilah alasan untuk menolak tawaranku. Aku yakin kamu tidak akan menemukannya. Atau, carilah laki-laki yang mencintaimu sewajar dan seindah aku mencintaimu. Aku yakin kamu pun tidak akan pernah berjumpa. Ketika kamu bilang kamu tidak mencintaiku, aku tahu kamu sedang berbohong. Tanpa disadari kamu meniru gaya bahasaku, tanpa disadari kamu mengikuti cara pandangku, dan tanpa disadari kamu memikirkanku. Terbukti dari keputusanmu menghindariku. Aku anggap itu adalah bentuk pertahanan dirimu yang kamu tidak ingin lebih jauh melihat dan mengenalku. Aku anggap itu bentuk pertahanan dirimu yang hanya tidak siap melepaskan sesuatu dan menerima sesuatu yang lain.

Ketika aku tahu kamu sudah berkekasih, bagiku itu bukan alasan untuk menggugurkan kembali cinta yang sudah terlanjur aku kembangkan. Bukan berarti aku menganjurkan untuk menyakiti orang lain. Pada setiap apa yang aku lakukan, pasti menimbulkan reaksi suka dan juga benci. Aku tidak bisa memenuhi semua kesukaan orang, aku tidak bisa juga membuat seluruh semesta suka padaku. Semua hanya soal sudut pandangku. Kamu tahu? Betapa sulitnya bagiku, menahan diri untuk tidak menyakiti kekasihmu? Aku tahu dia penghambat untuk aku bisa bersamamu. Namun dibalik semua itu, dia juga manusia yang berhak dan layak dihargai, dia juga anak dari ayah-bunda, kakak dari seorang adik atau adik dari seorang kakak, yang juga manusia. Sedangkan aku, aku tidak sampai hati, hanya demi keinginanku, aku harus menyakiti beberapa manusia sekaligus.

Karenanya, aku lebih memilih menunggumu, dengan berbagai cara agar tidak bosan. Karenanya, aku lebih memilih bertahan, dengan berbagai asumsi agar bertahan.

Aku bahkan melibatkan segalanya, termasuk ketika kamu menggandeng tangan keponakanku. Aku anggap itu tanda, paling tidak, kamu sudah bisa berbaur dengan lingkungan terdekatku. Apalagi ketika aku penasaran kenapa kamu bisa suka pisang sama sepertiku. Sangkaku, aku punya penawaran yang sulit atau bahkan tidak bisa kamu tolak.

Aku memperjuangkanmu tidak becanda, aku menunggumu tidak becanda, aku bertahan dengan harapku padamu tidak becanda. Buktinya, aku tidak membuka diriku untuk perempuan lain. Itu janjiku waktu itu. Karena aku punya sesuatu, entah keyakinan atau keinginan berlebih, yang seolah mengatakan kamu pasti bersanding denganku. Dengan begitu, senyumanmu akan selalu mengisi hari-hariku kelak. Masakanmu akan memenuhi isi perutku kelak. Namun hanya seolah-olah.

Perjuangan terakhirku adalah malam itu, malam yang aku kira aku akan disergap oleh senyumanmu seutuhnya. Malam yang aku kira akan memantapkan tumbuh-kembang cintaku. Malam yang aku kira adalah buah dari cintaku padamu yang sudah aku rawat sampai saat ini, sampai sejauh ini. Namun hanya kira-kira. Kamu membuat tumbuh-kembang cintaku layu seketika, sampai kamu memutuskan tidak bisa bersamaku. Cintaku padamu enggan berbuat sesuatu.

Rasa sudah ku indahkan, harapan sudah ku sempatkan, daya sudah ku upayakan, dan doa sudah ku langitkan. Kini waktunya untuk berhenti dan menerima semua yang terjadi.

Sekarang, dan untuk seterusnya. Aku terima keputusanmu, aku terima seluruh bentuk pertahanan dirimu. Aku terima kamu memblokir kontakku, yang kamu kira dengan begitu kamu sudah pergi atau menghilangkan aku dari hidupmu.

Sekarang, dan untuk seterusnya. Biarkan saja puisi dan sajak untukmu tetap seperti itu. Aku hanya ingin jujur pada suatu masa nanti, ketika aku diminta pertanggung jawaban atas puis-puisi dan sajak-sajak itu. Aku akan tegas mengatakan. Ya, aku pernah merasakan itu.

Sekarang  dan untuk seterusnya. Setiap harapan tidak lagi mengundang cemas serta khawatir. Meski kejadian dan kenangan adalah niscaya. Tidak akan menjadi lebih baik jika aku tidak menerima semuanya dengan baik, termasuk tidak bersamamu, yang harus aku terima dengan baik. Jika harus ada kalah dan menang. Aku terima kalah.

Meskipun aku sulit menerima kamu mengabaikan cintaku. Namun aku rela dan menerima diriku apa adanya.
Meskipun aku sulit menerima tidak bisa bersamamu. Namun aku rela dan menerima diriku apa adanya.
Meskipun aku sulit untuk rela. Namun aku rela dan menerima diriku apa adanya.

Dan pada akhirnya, aku hanya bisa mendoakan. Semoga kamu dan dia bisa saling menyenangkan dan saling memberi ketenangan.

Sebentar, separagraf lagi. Sekaligus sebagai penutup Hehehe. Maafkan aku, dan terima kasih karena sudah semakin memberi warna dalam hidpuku. Kini izinkan setiap untaian kata-kata dalam puisiku dan setiap cangkir kopi pada masaku menjadi penggantimu.

Selesai sudah.

MAN. Berintan, Februari 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bermain Tarik-Tarikan #2

Kisah Cinta

Pendakian

Alasan Mencintaimu

Rumah 2

Sejak Aku Mencintaimu

Setelah Sampai Rumah

Ketika Mempuisikan Kamu

Keinginanku dan Keinginanmu