Tentang Langit #1



-Langit

Kamu boleh membayangkanku seindahmu. Kuncup bunga yang sedang mekar menegaskan wangimu atau hujan basah memberikan tanahmu rasa segar. Silahkan kamu menyebutku apa saja. Rona senja yang memberimu kehangatan atau pelangi yang membenarkan indah warnamu. Kamu boleh menganggapku semanis kamu mau. Semerdu nyanyian alam semesta atau secerah mentari menghilangkan resah. Kamu boleh memanggilku samudera yang sedia menampung suka-dukamu. Namun, aku akan memanggilmu langit, yang menyelimutiku dengan kasih-sayangmu.

MAN. Berintan, September 2017





-Langit Hari

#1 Langit Malam

Aku suka saat kamu gelap seperti sekarang. Karena gelapmu menyinari diri yang dikira terang benderang.

MAN. Berintan, September 2017

#2 Langit Pagi

Hangat dan syahdu, basah embun bertalu-talu mereda sendu sejak shubuh lalu. Pilu yang membiru masih terlelap di balik kelambu. Hangat dan syahdu, kupu-kupu mendendangkan harapan melagu, penjual sarapan memberi tahu jika embun membasah di baju berarti hari baru. Hangat dan syahdu.

MAN. September, Berintan 2017

#3 Langit Siang

Ah sudah terang. Buru-buru aku mengeluarkan jurus menghilang. Menghilang di tengah medan perang, banyak bangkai lalu-lalang. Menghilang di balik ilalang, masih tetap terpampang. Akhirnya aku menyimpulkan, bahwa terang dan hilang punya dendam panjang.

MAN. Berintan, September 2017

#4 Langit Senja

Aku yang lapar berdiri di atas trotoar bersama harapan yang masih berkobar. Sayang langit sudah mulai temaram. Waktunya rehat, tapi jangan sampai tidur! Nanti ngelantur. Aku kira, setiap suara burung gagak terdengar, akan ada semacam hingar-bingar. Lengkap dengan tetabuhan dan tarian semisal ritual pemanggilan nenek moyang. Aku menunggu petuah dari mereka kepada anak-cucunya tersayang. Siapa tahu mereka iba padaku yang sejak pagi keder. Ternyata, perut kenyang bukan jaminan senyum terkembang. Nenek moyang, sebentar lagi langit temaram. Membikin hati muram. Karena takut hari esok bakalan suram. Rupa-rupanya, burung gagak hanya numpang lewat dan berlalu begitu saja. Seperti sepasang truk gandeng membuyarkan permemungan, melintas saling berkejaran mengejar sisa terang. Eh ternyata ada sesuatu yang indah untuk direkam, gradasi warna lembayung, hitam dan jingga di ujung trotoar sebelah barat sana. Lumayan, akan aku ingat selalu sebagai hiburan saat langit lengkap temaram yang katanya seram. Gawatnya, aku lapar.

MAN. Berintan, September 2017

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mempuisikan Kamu

Alasan Mencintaimu

Mari Bermain Tarik-Tarikan #2

Mari Bermain Tarik-Tarikan #7

Pendakian

Setelah Sampai Rumah

Surat Terakhir

Sore Ketika Mendung Namun Tidak Jadi Hujan

Kisah Cinta

Manusia