Rumah 1

Serial Tulisan Rumah ini saya buat di Bulan Desember 2017 sampai Januari 2018. Rumah ini saya dedikasikan untuk sesuatu yang biasa kalian sebut Rumah. Rumah ini bentuk refleksi dari segala yang melintas di kepalaku. Salah satunya kehampaan dan kekecawaan pada rumahku sendiri.

-Verse 1
Apa yang kau sebut rumah?
Ketika dikediaman
Tanpa mesra dan hangat pelukan.
Apa yang kau sebut keluarga?
Saat kerabat
Tidak menghalau kabut pekat.
Rumah meremah tak ramah,
Tujuan pulang kehilangan arah.

-Verse 2
Rumah jangan sampai menjadi pagar batas,
Penghalang kehidupan yang kian ranggas.
Rumah
Peneduh dari hujan pembeku jiwa yang berkembara.
Rumah
Pelindung dari terik pembakar raga yang mencari arah
Rumah jangan sampai menjadi tombol kendali
Penentu nasib bagi pengembara sejati.
Rumah
Pelipurlara bagi luka dan duka yang menyapa.
Rumah
Pemberi semangat kala si pengembara lelah melangkah.

-Verse 3
Setiap pagi pada pengamatanku
Telah ku temui bermacam wewangian;
Sisa kenduri, aroma majesti
Asap dupa memenuhi ruangan.
Beberapa simpulanku sendiri:
Avelous tidak pernah mempersoalkan
Wewangian.
Tetapi dia tahu apa yang dibutuhkan inti sel.
Seperti pituitari yang selalu berhasil
Menerjemahkan hormon menjadi riak emosi.
Wewangian menjadi kesan dan kenangan.
Terekam pada setiap lingkar sejarah,
Hingga aku tak bisa berhenti terperangah.
Kejut kagum memenuhi relung darah.
Ketika malam jatuh pada mataku,
Di atas gelap bukanlah terang, dan
Ternyata cahaya bukanlah sinar
Seperti yang aku kira.
Berupa foton saat tertangkap raga,
Menjadi gelombang saat menyentuh jiwa.
Keputusanku; Pandangan dari sudut terjauh
Menjangkau inti pada setiap ruang
Dan rumah adalah ruang kecil untuk pulang.
Inti ruang sebenarnya adalah diri kita sendiri.
Aku ingin pulang,
Sebelum benar-benar pulang.

Argapura (Apuy), Desember 2017

-Rumahku

Rumahku,
Ingin aku tukar dengan rimba belantara
Atau hutan binaan perhutani.
Paling tidak, aku bisa merasa teduh
Dan damai di tengah badai.
Rumahku,
Ingin aku tukar dengan waktu.
Kesempatan dan masa lalu.
Tak pernah dilahirkan, tak tahu menahu.
Apakah rasa masakan sesuai selera?
Apakah pakaian kusut perlu disetrika?
Setiap hari adalah hitungan mundur.
Bom waktu perlahan menuju lebur.
Bisa meledak setiap waktu.
Fana, rumahku fana adanya.
Sedihku, fana. Senangku, fana.
Segalaku, fana. Fanaku, abadi.
Rumahku,
Menawakan surga.
Di sela kepanikan kita
Menyambut akhir jagat raya.
Di rumahku,
Akar rambat menjadi belukar
Pagar pada setiap bunga mekar.
Menjalar, menutupi kehadiran demi kehadiran.
Menjalar, menghalangi pertemuan demi pertemuan.
Di rumahku,
Bunga mekar pada sela-sela jendela
Menyerap sinar matahari
Seusai hujan mengisi hari.
Bunga mekar tumbuh tak khawatir
Mendiam di hati lengkap dengan duri
Menancap pada tangkainya sendiri.
Ingin aku sirami dengan nyala api.
Di rumahku,
Aku menyerah. Ingin hilang dan sirna
Tanpa batu nisan dan taburan bunga,
Tanpa tahlilan dan doa-doa.
Aku bukan sebab bukan pula akibat.
Aku hanyalah tungku, bukan api
Bukan pula nyala.
Hanya rumah-raga pada setiap nyala api karma.
Aku ingin sirna seluruhnya, Tanpa raga.
Hanya ada aku dan Sang Nyala, Tanpa api.
Di rumahku,
Gelap dan terang hanya tentang sinar,
Bukan tentang cahaya.
Gelap dan terang sama saja.
Sama-sama memiliki titik buta:
Kemilau dan gulita.
Api hanyalah terang,
Sedangkan cahaya milik Sang Nyala.
Di rumahku,
Karma menyala dengan semestinya,
Tanpa campur tangan dan aji-ajiannya;
Memberi kepastian, jika tak ada yang pasti.
Karma menegaskan fana.
Di rumahku,
Aku berserah, ingin sirna seluruhku.


Berintan, Desember 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mempuisikan Kamu

Alasan Mencintaimu

Mari Bermain Tarik-Tarikan #2

Pendakian

Setelah Sampai Rumah

Surat Terakhir

Mari Bermain Tarik-Tarikan #7

Rumah 2

Sore Ketika Mendung Namun Tidak Jadi Hujan

Kisah Cinta