Manusia
(1)
Makhluk apa mereka sebenarnya? Berasal dari tanah tapi untuk kembali tanah
mereka ogah-ogahan, inginnya terbang menuju kahyangan, menembus cakrawala
melintasi galaksi. Padahal mereka berasal dari bumi.
Makhluk apa mereka sebenarnya? Kesenangannya memisah-misah dan mengelompokan.
Memisah-misah dan mengelompokkan warna kulit; memisah-misah dan mengelompokkan
suku bangsa; memisah-misah dan mengelompokkan agama; memisah-misah dan
mengelompokkan budaya; memisah-misah dan mengelompokkan ilmu pengetahuan;
hingga memisah-memisah dan mengelompokkan Tuhan. Seakan sudah menjadi Tuhan itu
sendiri. Satu sama lain saling membenarkan diri, satu sama lain saling
menyalahkan selainnya.
Makhluk apa mereka sebenarnya? Makhluk dengan ego segede-gede gunung dan
gengsi yang setinggi-tinggi puncaknya gunung. Untuk memberi pertolongan dan
berbuat baik saja harus melihat warna kulit, suku, dan agamanya. Apakah sama
dengan mereka atau tidak? Kalau tidak, tak perlu bertindak. Lain hal ketika
diri mereka dan kelompoknya dicela; masih baik jika hanya balik mencela, malah
seringnya mereka duluan lah yang mencela. Paling tidak, sedikit darah yang
keluar demi membela diri dan kelompoknya, mereka akan dianggap dan dijadikan
pahlawan. Lalu diabadikan; dibuatkan patung di perempatan-perempatan jalan.
Apalagi, jika darah kelompok lain keluar lebih banyak, mereka tidak saja
dianggap pahlawan lalu dibuat patung di perempatan. Minimal jadi nama jalan,
sudah pasti akan selalu dikenang. Atau lebih besar lagi, dijadikan hari libur
atau dijadikan nama bandara bahkan nama kota sekalian.
Makhluk apa mereka sebenarnya? Berbicara keadilan, hak dan kewajiban, lalu
mencatatnya dalam buku yang tebalnya bukan kepalang, biasanya disebut dengan
undang-undang. Tapi ketika proses pencatatan mereka saling tendang; Ketika
perumusan mereka mencari pecundang dan pemenang. Undang-undang ditolak, mereka
yang disebut pecundang, Undang-undang disahkan, merekalah sang pemenang. Tentang
Keadilan? Sudah lupa. Anggap saja itu nama pertandingannya. Pertandingan telah
usai karena sudah ada pecundang dan pemenangnya. Tentang hak dan kewajiban?
Pecundang akan diebabani kewajiban, Dan hak adalah tropi bagi sang pemenang.
Lalu Undang-undangnya? Aaah itu hanya buku yang tebalnya bukan kepalang.
Makhluk apa mereka sebenarnya? Membuat instansi namanya pendidikan, nama
lainnya sekolahan. Tujuannya untuk mencerdaskan dan membagi ilmu pengetahuan, Tujuannya
lain dan sebenarnya adalah untuk
transaksi jual-beli ilmu pengetahuan; transaksi demi sekarung keuntungan. Ada
yang namanya guru dan ada yang namanya murid. Guru adalah pembual yang
kelebihannya hanya satu, lebih banyak tahu, sedangkan murid adalah calon
pembual yang kekurangannya hanya satu, belum banyak tahu. Dari sekolahan lah mereka
belajar membuat kelomopok, memisahkan golongan satu dan golongan lain; Bahkan
dari sekolahanlah mereka menyekat-nyekat ilmu pengetahuan. Ada ilmu tentang
alam, dan ada ahlinya; Ilmu tentang kesehatan, dokter nama ahlinya; Ilmu
tentang agama, ustadz, kiai, pastur, romo, biksu nama ahlinya; Ilmu tentang
struktur arstitek namanya; ilmu sosial, budaya, politik, kejiwaan, fisika,
sejarah, ekonomi, kimia, bisnis, matematika, santet, seni, olahraga, bahasa,
agama, bahkan ilmu tentang Tuhan. Pendek kata, jangan percaya pada ahli seni
ketika mereka menjadi imam sholat; Jangan percayakan masalah ekonomi pada atlit silat. Kenapa? Itu bukan
bidangnya, tidak tahu teorinya. Sementara yang tahu teorinya, yang menjadi
bidangnya hanya diam saja. Mereka malah semakin tidak saling percaya dan
semakin menumbuh-suburkan saling curiga. Dari sekolahan pulalah mereka belajar
bertumpah darah. Beda seragam, berarti nyawa terancam, tidak mau mengancam
malah semakin terancam. Tetapi paling tidak ketika mereka dewasa nanti, mereka sudah
terbiasa terancam dan saling mengancam. Jadi (untuk hal ini) tak perlu khawatir.
Makhluk apa mereka sebenarnya? Mengaku berTuhan, tetapi memisah-misahkan Tuhan. Ada Allah, ada yang bernama
Yesus, bernama Budha, ada yang diberi nama Shiwa, Yahweh, Eli dan masih banyak
Tuhan-Tuhan lainnya. Mengaku berTuhan tetapi ujungnya mereka kembali
berkompetisi. Sebagai wakil Tuhan mereka berebut bahkan bisa jadi malah
banyak-banyakan pengikut, memaksa yang lain untuk yakin dan percaya pada Tuhan
mereka masing-masing. Lembaganya bernama agama, disediakan ilmunya, disediakan
seragam dan atributnya, diajarkan ritualnya, diajarkan juga mencela agama
lainnya. Oh bukan hanya mencela tetapi saling kafir-mengkafirkan. Jangankan
yang berbeda agama, yang satu agama saja begitu adanya. Perang atas nama agama adalah
keharusan; Bahkan membunuh atas nama agama pun diperbolehkan bahkan justru
diwajibkan. Atas nama agama, mereka berseru atas nama Tuhan, atas nama
pembelaNYA, atas nama umatNYA yang paling setia, atas nama kekasih yang paling
mencintaiNYA. Mereka justru saling membunuh, memperkosa, menjajah, memperbudak,
dan memakan bangkai sesamanya. Saling menyalahkan dan saling membenarkan diri. Saling
berebut suwarga, saling
menimpali neraka. Atas nama Tuhan, mayat bergelimpangan; atas nama CintaNYA, Saling
menghisap darah sesama.
Makhluk apa mereka sebenarnya? Jangan pernah berurusan dengan mereka, bakal
repot dan berkepanjangan. Kalau kau tidak percaya, silahkan coba saja. Asal
jangan menyalahkanku saja
MAN. Berhati Nyaman, Mei 2015
(2)
Bicara tentang kebersamaan. Tetapi ego mereka segede-gede gunung dan gengsi
yang setinggi-tinggi puncaknya gunung. Urusan pribadi adalah yang utama,
kebutuhan pribadi adalah segalanya sampai mereka lupa kalau sebenarnya
kebutuhan mereka sama. [Bersama lebih baik daripada sendirian] Di dunia maya
mereka sangat dekat. Ketika
benar-benar bersama, mereka kembali akrab dengan dunia maya
masing-masing. Makin banyak
saja bukan yang memisahkan mereka?
Bicara tentang keadilan. Urusan perut adalah yang utama, sedikit
sikut-menyikut itu sudah biasa. Menuntut keadilan tetapi lebih senang
memperkaya diri, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Menabung untuk anak-cucu
jangan sampai hidup mereka kesusahan. Orang lain kesusahan itu sudah nasibnya,
kenapa mereka tidak berusaha memperbaiki hidupnya sendiri. Kalau diri mereka
yang susah, mereka menyalahkan pemerintah, dan orang-orang kaya yang serakah.
Bicara tentang kebaikan. Kebaikan
adalah ketika diri mereka diperhatikan, orang lain bisa dibahas belakangan.
Bicara tentang impian. Mereka punya impian, atau biasa disebut juga
dengan cita-cita. Ada yang
berimpian jadi dokter, guru, pilot, presiden, pengusaha sukses, kuli bangunan,
resepsionis hotel, ajudan menteri, supir bupati, tukang tambal ban, sampai jadi paranormal. Kata mereka, impian adalah
nyawa, ketika hidup sudah tak punya impian seperti daun di di atas arus sungai, impian harus
dikejar harus diraih. Akan tetapi hanya dibentak sedikit, impian mereka lari terbirit-terbirit.
Dibenturkan dengan kenyataan, bahwa kemampuan mereka tidak akan bisa
meraih impian yang kadang satu jam sekali sudah ganti. Dua jam lalu berimpian jadi
budayawan karena sebelumnya diskusi budaya. Satu jam lalu pingin jadi
tukang obat karena melihat tukang obat dipinggir jalan laku keras. Jam sekarang pingin jadi
Kapten Amerika, atau Wonder Women karena sedang nonton film Avenger. Jam berikutnya mungkin pingin
jadi penyanyi karena setelah ini ada acara audisi menyanyi di televisi.
Paling Aneh dari mereka adalah, mereka mati-matian mengejar masa depan yang
tidak tahu kapan akan datang. Mereka mati-matian meraih masa depan yang tidak
pernah datang.
Bicara tentang ketulusan dan kemunafikan. Mereka hanya mengatakan. "Aku
tulus dan dia munafik".
Bicara tentang Tuhan. Berbondong pada pergi sembahyang, menjawab
seruan Tuhan setelah itu lanjut menceritakan keburukan teman. Ya paling tidak masih
sembahyang, banyak dari mereka mengaku beragama tetapi sembahyang hanya ketika
kesusahan datang bertandang. Ya paling tidak masih sembahyang. Mereka mengaku berTuhan tetapi mereka lebih
takut kerja tidak digaji, mereka lebih takut begal motor di jalanan. Lebih
takut ponsel android baru yang masih belum lunas mereka hilang. Ketika masih sekolah mereka
lebih takut dihukum di jemur di bawah tiang bendera. Pacaran, mereka lebih
takut kehilangan sang pujaan. Mengaku berTuhan tetapi lebih sering mengagung-agungkan klub sepak bola
liga Eropa, lebih senang merayu pacar mereka biar tidak marah. Lebih bisa
berpasrah pada bos mereka timbang tidak digaji, lalu berharap bulan depan gaji akan
dinaikkan.
Bicara cinta dan sayang. Cinta adalah kunci agar bisa tidur dengannya, Sedangkan sayang adalah kunci
agar besok bisa tidur dengannya lagi.
Makhluk apa mereka sebenarnya? Jangan pernah berurusan dengan mereka, bakal
repot dan berkepanjangan. Kalau kau tidak percaya, silahkan coba saja. Tapi ingat,
Asal jangan menyalahkanku saja.
MAN. Berhati Nyaman, Mei 2015
(3)
Jangan berurusan dengan mereka, bisa repot
Dan berkepanjangan.
Kalau kau tidak percaya,
Silahkan coba saja,
Asalkan tidak menyalahkanku saja."
Manusia berubah wajah. Sunyi,
Datar tanpa ekspresi.
Tak lagi butuh tegur sapa,
Hanya cukup sentuhan, terjalinlah
Kesemuan komunikasi.
Manusia berubah wajah. Sunyi,
Datar tanpa ekspresi.
Hingar dalam ekspresi datar,
Bincang-bincang datar,
Ibadah datar,
Kepada Tuhan yang juga datar.
Tak perlu akal sehat, tak perlu
Hati nurani.
Sudah tak ada nestapa, sudah tak ada
Rindu menggetar dada.
Manusia berubah wajah. Sunyi,
Datar tanpa ekspresi.
Tak lagi butuh tegur sapa,
Hanya cukup sentuhan, terjalinlah
Kesemuan komunikasi.
Manusia berubah wajah. Tanpa tangis,
Tanpa tawa.
Sedihnya,
Hanya titik dua buka kurung.
Senyumnya,
Hanya titik dua tutup kurung.
MAN. Berintan, Juli 2016.
(4)
Datar tanpa ekspresi.
Tak perlu lagi tegur sapa,
Hanya cukup sentuhan. Terjalinlah
Kesemuan komunikasi.
Dunia semakin sempit saja.
Hanya lima sekian inchi
Atau tujuh sekian inchi.
Tak perlu terbang untuk pergi ke
Amsterdam.
Tak perlu berlari untuk mengunjungi
Romawi.
Apalagi hanya sekedar lembang atau
Bali.
Loper koran yang dikorbakan
Karena informasi sudah ada
Dalam genggaman.
Jam weker menangis,
Kalkulator meringis.
Semua ada dalam sang layar
Yang manis.
Sang layar itu....
Memperkecil dunia, mengalihkan cinta.
Komunikasi hanya di ujung jari,
Peran mulut sudah terganti.
Belajar hanya di ujung jari,
Peran akal sudah tidak berarti.
Simpati dan empati hanya di ujung jari,
Membekukan hati nurani.
Kini manusia sudah semakin
Sibuk sendiri-sendiri.
Merasa kesepian ditengah keramaian, namun.
Tak punya kesempatan untuk merenungkan
Diri sendiri.
Sang layar yang kau cipta sendiri,
Sang layar yang kau beli sendiri,
Sang layar yang harus melayani dan mematuhimu.
Justru kaulah pelayan yang patuh
Pada sang layar.
Yang bersinar.
Hingga, suka dukamu,
Marah dan tawamu,
Kawan dan musuhmu,
Dan seluruh hidupmu adalah
Milik sang layar.
Hanya di balik layar
Itulah cara terbaru untuk bersabar.
Hanya di balik layar
Rindumu selalu bergetar
Hanya di balik layar
Harapanmu terpancar.
Hanya dengan sebuah layar
Akalmu kau tukar.
Hanya di balik layar
Keyakinanmu bersandar. Dan
Hanya berhenti di balik layar
Seluruh doa doa yang kau ujar.
Sang layar adalah Tuhan baru yang diciptakan manusia.
MAN. Berintan, Juli 2016
(5)
Makhluk apa mereka sebenarnya? Jangan pernah berurusan dengan mereka, bakal
repot dan berkepanjangan. Kalau kau tidak percaya, silahkan coba saja. Tapi ingat,
asal jangan menyalahkanku saja.
Mereka terlalu terburu-buru. Terburu-buru belajar ekonomi. Hingga merasa
menjadi makhluk ekonomi, yang pertimbangan dan sudut pandangnya ekonomi. “Keuntungan
sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya,” itu prinsipnya. Hingga demi
keuntungan, mereka rela saling menjatuhkan, dan saling menghancurkan; demi
keuntungan mereka menggunakan segala cara; demi keuntungan mereka sendiri,
mereka sampai rela merugikan yang lain. Semua demi keuntungan. Karena itu
prinsip sebagai makhluk ekonomi yang sudah belajar ekonomi. Mereka pandai
mengolah neraca, cermat membaca peluang dan pasar, lihai mencipta daya
konsumtif, dan giat memproduksi. Mereka lah yang mengaku makhluk ekonomi,
dengan praktek konsumeris. Dan ekonomilah yang menjadi segala dasar ideologis.
Mereka terlalu terburu-buru. Terburu-buru belajar sosial. Hingga merasa
menjadi makhluk sosial, yang menciptakan kesetaraan sosial. Akan tetapi status
kelas sosial lah menggerakan mereka. Ada kelas sosial atas, kelas menengah,
kelas menengah ke bawah, dan kelas sosial bawah. Kelas bawah dengan derajat
sosial rendah, dan kelas atas dengan derajat sosial tinggi. Yang di bawah
mati-matian mengangkat derajat sosial, paling tidak menyerupai derjat sosial
kelas sosial atas. Interaksi sosialnya tergantung pada kelas sosialnya. Ada
ciri khasnya masing-masing, ada medianya masing-masing. Lebih kerucut lagi
interaksi sosial hanya berlaku bagi yang saling kenal.
Mereka terlalu terburu-buru. terburu-buru belajar kewarganegaraan.
Nasionalisme katanya, membela bangsa dan negara katanya, tanah-air mereka
katanya, bangga dengan bangsa dan negara katanya. Namun beda desa bisa perang,
beda ukuran mata saling mencela, beda warna kulit saling gigit. Karena
nasionalisme hanya untuk yang sama dan seragam. Kewarganegaraan sepaket dengan
politik. Karena pada prakteknya, ada birokrasi rumit di dalamnya, ada kendaraan
politiknya, ada cita-cita politiknya, ada kebijakan-kebijakannya. Setelah
kewarganegaraan, dan politik. Mereka belajar hukum, bertujuan mengatur,
mengatur dalam arti sebenarnya. Mengatur agar hukum sesuai keinginan mereka.
Hingga Nasionalisme hanya milik mereka.
Mereka terlalu terburu-buru. terburu-buru belajar agama. Hingga menyebut
diri mereka makhluk religius. Membuat sekte-sekte di dalamnya, membuat atribut
dan lagu-lagunya, membuat jalan surga dan nerakanya. Agama hanya menyangkut
soal ritual saja. Namun sesekali menjadi senjata terampuh untuk menyelesaikan
masalah. Karena ketika agama yang turun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Terlalu rawan, saran sedikit anggapannya melawan. Terlebih jika saran tersebut tidak
sejalan dengan arah pikiran dan kepentingan mereka. Agama menjadi joker segala
saran dan kritik. Jika saran saja dianggap melawan. Apalagi kritik? Dalam agama
sudah tidak boleh ada saran dan kritik, karena semua yang menyangkut agama
adalah dari langit. Tuhannya sudah seperti pelayan mereka. Bagi yang sarkas
menganggap Tuhan sarkas, bagi yang liberal menganggap Tuhan liberal. Tuhan
hanya sekata untuk melancarkan keinginan mereka.
Mereka terburu-buru. terburu-buru belajar berbagai macam ini-itu. Padahal
mereka lupa, mereka tidak pernah sekalipun belajar menjadi manusia. Hingga
nalar mereka melangkahi yang seharusnya menjadi nalar paling awal, nalar
manusia. Nalar ekonomi dicurigai tidak sejalan dengan nalar sosial, nalar
negara, bahkan nalar agama. Karena ekonomi hanya soal jual-beli dan keuntungan.
Nalar agama sudah terpisah dengan nalar sosial, nalar ekonomi, nalar kesehatan
dan lainnya. Karena agama hanya soal ritual saja. Mereka terlalu terburu-buru.
terburu-buru menjadi makhluk ekonomi, makhluk religius, namun jadi makhluk
bernama manusia saja mereka gagal.
Mereka mungkin lupa. Kalau segala sesuatu sebetulnya saling terkorelasi.
Selain sebagai makhluk individu, makhluk keluarga, makhluk desa sampai tahap
negara, makhluk suku jawa atau balkan, makhluk sunni atau syiah, makhluk NU
atau lainnya, makhluk agama islam/kristen/budha dan lainnya, makhluk ekonomi,
sosial, budaya, dan lainnya. Mereka adalah makhluk manusia. Dengan kebutuhan
oksigen yang sama, kebutuhan perut, pakaian dan tidur yang sama, kebutuhan
buang air yang sama. Lebih lagi, selain sebagai manusia, mereka juga makhluk
ciptaan Tuhan, sama dengan hewan dan tumbuhan juga seluruh semesta alam.
MAN. Desember 2016
Komentar
Posting Komentar