Tentang Langit #2
-Langitku
Langitmu
Hey!
Langitku dan langitmu sama saja. Bedanya paling sudut pandang imajinasimu dan
imajinasiku pada gumpalan awan atau konstelasi bintang. Sebentar saja, malam
ini mari kita duduk bersama. Kita lepas sejenak ponsel dan media sosial. Kita
berbincang tentang film terbaru atau kisah mahabarata maupun roman Yunani sambil
menikmati suguhan teh atau kopi, dan juga khong guan isi rengginang. Siapa tahu
kita bisa semakin saling sayang.
MAN.
Remaja, September 2017
-Langit
Langit
Langit
ke-1 (Amarah)
Dari
langit, turun air yang disepakati bernama hujan. Para dewa yang pada masa
sebelumnya bertanggung jawab akan itu. Mereka dinobatkan menjadi dewa langit.
Entah oleh siapa. Segala yang ada di langit adalah tugas mereka. Termasuk
persoalan hujan. Seberkah berupa basah dari kahyangan untuk menyejukkan dan
menghilangkan terik dan gersang. Terkadang mereka terlalu memihak. Menggunakan
hujan untuk menenggelamkan atau mengeringkan manusia yang mereka benci.
Sesekali petir-petir mereka mencambuk bumi, itu kalau mereka sedang marah.
Manusia menjadi keder dibuatnya. Puncaknya adalah saat mereka berselingkuh
dengan Alkmene seorang perempuan dari bangsa manusia, yang darinya lahir
manusia setengah dewa, Hercules namanya, dibelahan lain diberi nama Bhisma atau Ajisaka.
Manusia merasa dihianati, karena para dewa sudah tidak mampu mengadili dan
terlalu mementingkan diri sendiri. Karena para dewa hanya mengutamakan syahwat
dan amarahnya sendiri.
Beribu
tahun berlalu, setelah manusia mengganti dewa-dewa dengan evaporasi sebagai
penanggung jawab hujan. Dikiranya akan lebih baik. Tapi apa yang terjadi?
Bukannya tersenyum bahagia tapi justru, manusia semakin keder karenanya.
Hujan
tidak lagi arogan seperti saat para dewa sebagai penanggung jawab, menjadikan
manusia tidak lagi menghormati hujan. Hujan hanya gejala alam yang lumrah,
sekedar perubahan benda cair menjadi gas (menguap) dan kembali menjadi cair (mengmbun). Bukan
lagi merupakan sebuah berkah untuk disyukuri. Hujan hanya akibat dari evaporasi. Bahkan, hujan
hanya dijadikan sebagai sendu pemanggil kenangan, pemurung hari, dan pendingin
mimpi-mimpi. Basah hujan adalah pelengkap gundah. Saat hujan membasah manusia mengeluh,
saat hujan menjauh manusia pun mengeluh. Kehujanan dan kekeringan menjadi
alasan untuk keluhan.
Seandainya
manusia mau sedikit lebih lama bersabar dan memunggu permohonan maaf dari
mereka (baca: para dewa), mungkin keadaannya akan berbeda. Mereka, sebenarnya sudah
menyesali perbuatannya. Hanya saja, ego mengekang mereka untuk mengakui kesalahan
mereka. Kini mereka berdiam diri, bersembunyi pada setiap rongga di dalam diri manusia
manusia.
MAN.
Berintan, September 2017
Langit
ke-2 (Lawammah)
"Dari
langit, kami terbiasa melihat segala hal nampak kecil dari aslinya.
Bangunan-bangunan yang kalian banggakan hanya sebesar guratan asa di ujung jari
kelingking.
Pohon dan pesawahan kalian tidak lebih seperti hamparan permadani hijau di
lantai kediaman kami. Apalagi kalian, semut-semut kami jauh lebih besar, aku
bilang jauh lebih besar. Jika kami bandingkan dengan sebutir debu, kami juga
sulit membayangkan bentuk nyata kalian seperti apa. Kecil, sangat kecil. Lebih kecil dari yang biasa kami sebut kecil.
Dari
langit, kami berada diketinggian, terbiasa menilai segalanya rendah dan kecil. Derap
langkah kavaleri pasukan perang salib pun tak sampai mengganggu tidur kami. Bahkan
tidak terdengar sama sekali, Kami cukup dibuat kaget dan sempat menjadi
buah bibir di sini, saat Fat Man dengan kandungan plutonium di dalamnya,
menjatuhkan diri di kota Nagasaki. Mengotori langit dengan asap mirip jamur. Persis
setelah itu, hampir selalu langit dibuat bising. Bosnia, Syiria, Iraq, Afganistan
sampai Amerika selatan. akhir-akhir ini Korea, Revolusi Timur Tengah, dan Gazza
paling bising diantara bagian bumi lainnya.
Kebisingan-kebisingan
tersebut bisa saja karena keirian kalian terhadap segala hal yang ada di sini, di langit. Tinggi dan tak
tertandingi karena dari ketinggian kami terbiasa merendahkan. Seolah semua hal
bertandang hanya numpang. Sorot lampu perhelatan selalu tertuju pada kami.
Hingga pada waktu-waktu tertentu, kami menciptakan tanggal merah khusus untuk
menyambut dan mengelukan kami. Menyuguhkan berbagai macam makanan, buah-buahan,
dan hasil panenan khusus untuk kami. Minuman berupa warna, dan kembang bermacam
rupa disediakan khusus untuk kami. Sampai-sampai korban berupa nyawa
dikhususkan untuk kami.
Dari
langit, kami terbiasa membanggakan diri. Mungkin jika harus bangga, kami sudah
pantas dan layak. Kalian terbiasa ketakutan hingga ingin ditakuti, kalian
terbiasa direndahkan hingga kalian ingin merendahkan. Kalian terbiasa menyembah,
hingga kalian ingin disembah. Dibuatkan altar pemujaan. Diadakan ritual
pengorbanan khusus untuk diri kalian sendiri. Kami tahu, kalian ingin seperti
kami. Terutama bagian ini."
MAN.
Berintan, September 2017
Langit
ke-3 (Sufiyah)
Bersedialah
bersinergi denganKu, karena peranKu selalu signifikan. Segala kebutuhan bisa Aku
penuhi, segala keinginan bisa Aku kabulkan. Setiap asa bisa Aku terjemahkan.
Dalam kesendirianmu, panggil Aku. Aku tidak seperti jin yang keluar dari lampu
ajaib yang hanya menawarkan tiga permintaan. Aku adalah kesempurnaan tak terelakan.
Bersinergilah denganKu. Para dewa yang pernah Kamu agungkan, tidak sebanding
denganKu. Mereka hanya memiliki satu-dua tugas sesuai kemampuan. Sedangkan Aku,
Akulah sang Maha Daya. Penggerak dari seluruh gerak. Penghidup dari semua yang
Hidup. Kekosongan paling kosong, juga keisian paling isi. Kehampaan paling
hampa, cahaya dari seluruh yang bercahaya. Itulah AKU. Aku sempat murka saat
kamu lebih mencintai para dewa. Sesak dadaku, terendam dengki. Karena kamu
lebih takut dan lebih hormat pada para dewa. Padahal Aku adalah ketakutan
paling menakutkan.
MAN.
Berintan, September 2017
Langit
Ke-4 (Mutma'innah)
"Dari
langit, konon segalanya berasal. 'Segala' itu jumlah yang banyak. Padahal saat
malam tiba, langit ada di mana? Jika singgah, persinggahannya di mana? Jika
sembunyi, persembunyiannya di mana? Jika berlari, kemana tujuannya? Jika pergi,
apa penyebabnya? Atau jangan-jangan, langit hanyalah asa yang aku ciptakan
sendiri. Memancarkan cahaya terlampau kemilau yang justru lebih sering mengundang
ketakutan, kegalauan, dan kegelisahan. Segalanya menjadi Nampak, jelas, dan terang. Segala kesombongan,
kebohongan, dan keburukan terlihat wajahnya. Sedangkan langit tak pernah
memberi cara bagaimana menjadi cahaya itu sendiri, atau paling tidak untuk dapat bersama cahaya.”
MAN.
Berintan, September 2017
Langit
Ke-5 (Radhiah)
Sadarilah,
langit ada hanya karena kita dipaksa agar langit harus ada, bagaimanapun
caranya. Kita mengenal lapisan atmosfer dengan kandungan berbagai macam gas.
Dari nitrogen hingga karbon. Itu bukanlah langit. Sampai 100km di atas
permukaan laut, di mana aurora menampakkan warnanya, itu bukanlah langit.
Terlepas dari eksosfer adalah ruang hampa angkasa. Apa Itu yang disebut langit? Bukan
Langit adalah ketinggian yang tak pernah kita bisa ukur. Langit adalah ketinggian yang selalu kita inginkan, namun tidak akan pernah kita injakan. Atau kita ternyata tertipu oleh nyanyian dengan syair orang-orang terdahulu. Langit adalah tempat bintang-bintang berada. Bukan! Meskipun belum tentu benar, bintang adalah reaktor nuklir berukuran besar, nampak kecil karena bejarak jutaan tahun cahaya. Matahari adalah reaktor nuklir alami terdekat dari kita. Bintang yang nampak, jangan-jangan reaktor nuklir yang berada di luar galaksi kita dan sebenarnya sudah mati.
Pada kenyataannya, angan-angan kita pada langit, hanyalah angan. Angin yang pecah terbentur kenyataan dan bergesekan dengan kenangan. Menghasilkan badai topan yang meliuk-liuk. Memporak-porandakan pondasi batin kita. Semua karena kesalahan kita sendiri. Kita anggap langit adalah istana Tuhan, tempat singgasana Tuhan bahkan berada di langit lapisan ke-7. Bukankah itu membuat kita menjadi jauh dengan Tuhan. Kita punya jarak yang cukup untuk bersembunyi dan main belakang dari Tuhan. Karena langit yang kita idamkan sangat jauh dari diri kita. Sedangkan Tuhan ada di sana bahkan di lapisan paling jauh.
Langit adalah ketinggian yang tak pernah kita bisa ukur. Langit adalah ketinggian yang selalu kita inginkan, namun tidak akan pernah kita injakan. Atau kita ternyata tertipu oleh nyanyian dengan syair orang-orang terdahulu. Langit adalah tempat bintang-bintang berada. Bukan! Meskipun belum tentu benar, bintang adalah reaktor nuklir berukuran besar, nampak kecil karena bejarak jutaan tahun cahaya. Matahari adalah reaktor nuklir alami terdekat dari kita. Bintang yang nampak, jangan-jangan reaktor nuklir yang berada di luar galaksi kita dan sebenarnya sudah mati.
Pada kenyataannya, angan-angan kita pada langit, hanyalah angan. Angin yang pecah terbentur kenyataan dan bergesekan dengan kenangan. Menghasilkan badai topan yang meliuk-liuk. Memporak-porandakan pondasi batin kita. Semua karena kesalahan kita sendiri. Kita anggap langit adalah istana Tuhan, tempat singgasana Tuhan bahkan berada di langit lapisan ke-7. Bukankah itu membuat kita menjadi jauh dengan Tuhan. Kita punya jarak yang cukup untuk bersembunyi dan main belakang dari Tuhan. Karena langit yang kita idamkan sangat jauh dari diri kita. Sedangkan Tuhan ada di sana bahkan di lapisan paling jauh.
MAN.
Berintan, September 2017
Langit
Ke-6 (Mardhiyah)
“Selama
langit masih ada dalam kesadaran kita, kita akan tetap ada. Cukup! Itulah langit. Kesadaran yang berupa ruangan gelap teramat gelap. Hanya ada satu lentera
bernama Pineal, dan sebuah tombol pemantik bernama Neo-korteks, juga sebuah katup bahan bakar otomatis bernama Pituitari. Semuanya tersimpan
sangat dalam di antara hamparan cakrawala kehampaan dan kegelapan langit.
Ada dimensi yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Dimensi yang tak pernah terikat oleh ruang maupun waktu, dimensi yang tidak mengenal jarak dan kecepatan. Yakni dimensi langit, dimensi kesadaran. Hingga kita lupa cara berinteraksi dengan kesejatian. Kita seolah merdeka tetapi terkurung oleh diri sendiri. Kita ciptakan kebenaran dari dendam dan dengki. Kita ciptakan keadilan dari kebohongan dan dahaga. Kita ciptakan cinta dari ketakutan dan syahwat. Kita semakin jauh dari langit.
Ada dimensi yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Dimensi yang tak pernah terikat oleh ruang maupun waktu, dimensi yang tidak mengenal jarak dan kecepatan. Yakni dimensi langit, dimensi kesadaran. Hingga kita lupa cara berinteraksi dengan kesejatian. Kita seolah merdeka tetapi terkurung oleh diri sendiri. Kita ciptakan kebenaran dari dendam dan dengki. Kita ciptakan keadilan dari kebohongan dan dahaga. Kita ciptakan cinta dari ketakutan dan syahwat. Kita semakin jauh dari langit.
Hati yang seharusnya menjadi matahari, yang seharusnya menangkap dan memantulkan cahaya murni dalam diri
sudah kita abaikan berabad-abad silam. Kita lebih suka menikmati tenggelam dalam
gelap langit kesadaran kita. Tanpa sekailpun berusaha menyalakan kembali
pineal, agar matahari (matahati) kita bersinar semestinya, memberi petunjuk dan
menunjukan kebenaran serta kebahagian di tengah kegelapan tanpa merasa gelap.”
MAN.
Berintan, September 2017
Langit
Ke-7 (Kamilah)
Pada
akhirnya. Bukan lagi gelap atau terang. Bukan lagi baik atau buruk, bukan lagi
sekedar salah dan benar. Ketika kebanggaan diri dan ego sudah tersinari oleh
pineal yang menyala. Ketika syahwat dimurnikan oleh matahari (matahati). Cahayanya
bukan putih atau warna-warni, bukan pula hitam. Karena bukan lagi tentang
deskripsi, definisi, sekat-sekat, dan atribut yang melekat. Paham dan hampa
sudah tak bertengkar. Ketika kosong dan isi sama-sama berarti. Ketika sejati kembali murni. Ketika itulah, Aku bukan apa-apa karena Aku adalah Segalanya. Manunggal!
MAN.
Berintan, September 2017
Komentar
Posting Komentar