Rumah 2
Rumah – Dalam Renovasi
Setelah
sekian lama terjalin hubungan dengan para tetangga; ada yang berjalan dengan kebanggaannya,
ada yang berjualan keperluan harian, dan ada yang senang menyendiri. Bisa
sekiranya disimpulkan bahwa, mungkin karena adanya rumah, aku sebagai manusia
menjadi lemah. Pertama, aku menjadi lebih lemah secara fisik; aku lebih rentan
pada cuaca dingin dan juga terik. Aku lebih mudah terkena influenza, aku lebih
mudah terpapar debu lalu menjadi gumpalan dahak dalam paru-paru, aku juga lebih
mudah tergores benda-benda yang sebetulnya tidak terlalu berbahaya. Tubuh ku
menjadi lebih manja. Ya meskipun ini semua adalah hasil evolusi industri yang
besar-besaran; seperti kendaran yang mengurangi kerja otot, internet dan
computer yang mengurangi kerja otak, dan alat-alat lain yang membuatku semakin
punya banyak alasan untuk berada di tempat tidur lebih lama. Kedua, aku menjadi
lebih lemah juga secara mental; mudah tersinggung, cepat marah, dan sifat egois
yang makin menjadi; bahwa antara aku dan tetangga tercipta sekat, lalu pada
sekala yang lebih besar, sekat pun semakin membesar dan meluas. Terciptalah
sistem yang menghendaki aku bersikap fanatik mulai dari terhadap diri sendiri,
keluarga, kedaerahan, golongan, negara dan lain-lain. Inilah yang disebut sistem
sosial, dampaknya tetangga seakan alien bagi rumah ku. Oleh karena itu, aku menjadi
punya lebih banyak alasan untuk menghardiknya timbang membantunya. Begitupun
dengan tetangga ku. Jika bukan keperluan pinjam-meminjam, kita diam-diam saling
menikam. Anggapan ku tentang rumah berubah signifikan.
Memang,
secara implisit aku masih percaya bahwa rumah adalah surga. Seorang penjelajah
pernah memgatakan padaku begini. “Kadangkala, aku sangat merindukan rumah,
sedangkan sejak enam tahun silam aku sadar dan dengan mata sendiri melihat
rumahku hancur saat gempa. Seluruh keluargaku pindah, masing-masing punya
kehidupan. Hingga aku memutuskan untuk terus melangkah tanpa tujuan. Aku sudah
berkaki-berkali ditawarkan rumah oleh manusia-manusia baik (atau licik) yang
terpikat olehku. Ada beberapa yang aku terima, namun ternyata benar menurut
Bahasa Inggris; bahwa Home dan House adalah berbeda sama sekali. Rumah secara
fisik sampai yang bernilai miliaran pernah aku tinggali. Ada seorang kaya yang terlampau
kebanyakan rumah mempercayakan salah satunya untuk aku tinggali. Rumah yang sangat
modern, sampai sekedar gordin dan perapiannya sudah menggunakan remote control.
Ketika memasak air, kompor berhenti otomatis saat air sudah mendidih. Seharusnya
aku betah di rumah itu. Kenyataannya aku tidak betah dan memilih meninggalkan
lalu melanjutkan pengembaraan. Aku merindukan rumah. Tapi sampai sejauh ini aku
sendiri belum mengerti, apa sebenarnya makna rumah? Dan aku belum menemukan di
manakah rumah yang sebenarnya.”
Sampai
detik ini aku masih sering memikirkannya. Rumah yang menjadi surga adalah rumah
yang seperti apa? Soalnya, kadang aku merasa rumah ku bisa dikatakan lebih
mirip neraka. Aku coba amati, dalam satu minggu pasti ada 2 atau 3 hari muncul
dorongan cukup besar untuk keluar meninggalkan rumah. Saat rumah bagai neraka.
Pergi mungkin satu-satunya pilihan, pernah aku lakukan. Hanya 4 hari dan aku
menderita penyakit yang disebut homesick. Sesekali aku berfantasi: berpetualang
tanpa meninggalkan rumah; menemukan surga di tempat-tempat yang tidak terduga;
di dalam otakku sendiri. Aku bangun sendiri pilar-pilar dan lantai serta teras
depan rumahku. Lengkap dengan bermacam fasilitas. Namun anehnya, dalam
fantasiku saja, aku tetap menciptakan rumah yang lebih mirip neraka.
Saat
ini di rumahku jam 11 malam. hari Senin tanggal 11 desember 2006, aku
menyalakan perapian karena cuaca di luar sedang hujan. Bersiap-siap tidur.
Catatan:
Rumahku sedang direnovasi. Mempermegah bagian muka.
Rumah – Setelah Renovasi
Catatan:
Rumahku sudah selesai renovasi. Pada bagian mukanya sudah megah.
Aku
kehilangan banyak hal. Terutama mainan-mainanku yang rencananya akan aku
wariskan kepada adikku. Baiklah, kehilangan tidak terlalu menyedihkan karena
senyatanya aku tidak punya adik. Akhirnya mainan-mainan itu aku bakar saja.
Lalu sisa pembakarannya aku masukkan ke dalam kendi dan kusimpan di loteng
rumahku. Sebulan sekali aku tengok, untuk sekedar mengenang mereka yang telah
setia menemani masa kecilku sejak pagi sampai aku terlelap. Kehilangan lainnya
adalah hilangnya teras depan rumahku yang menjadi tempat buatku memainkan
mainan-mainan itu, jadi benarlah keputusanku membakar seluruh mainan-mainan
itu.
Hari
ini, tepat bulan purnama yang menjadi waktu rutin bagiku untuk menengok sisa
pembakaran mainanku. Sebelum masuk kamar Aku lirik jam lama di dinding baru
rumahku, menunjukan pukul 9 malam. Tanggal 2 Januari 2018. Aku matikan lampu
kamarku, tanda aku siap bermain:
Pasukan
pedang, pasukan berkuda, dan pemanah serta pelontar sudah berhasil memasuki
gerbang istana tanpa pertumpahan darah. Tujuanku adalah mengundang Sang Putri
makan malam lalu menawarkan ikatan pernikahan untuk memperkuat wilayah kekuasaan.
Dengan langkah pasti aku memasuki istana, namun aku mendapati istana tanpa Sang
Putri. Setelah itu aku terlelap. Kisah dalam permainanku berikutnya akan aku ubah
lebih dramatis.
Nb:
Soal Rumah Surga dan Rumah Neraka sudah aku lupakan. Aku pernah tinggal di Surga
(Rumah) rasa Neraka; Karena neraka yang paling menyakitkan adalah sendirian dan
kesepian.
Januari
2018
Komentar
Posting Komentar