Kemerdekaan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

"Merdeka!"
"Merdeka!"
"Merdeka!"
Teriak seorang pemuda di atas mimbar, nampak intelektual, lengkap dengan setelan jas hitam dan dasi berwarna merah marun. Dua menit yang lalu baru turun dari sebuah mobil SUV buatan Jepang keluaran terbaru. Nampaknya dia ingin membicarakan dan mengajak sesuatu yang dia sendiri tidak punya. "Merdeka!!!" itu teriakannya, itu pula yang tidak dia punya. "Kemerdekaan harus ditandai dengan tidak adanya asing dan aseng" lanjutnya. Nampak dari wajahnya, sebenarnya dia tidak mengerti dengan apa yang sedang dia bicarakan.

Kabarnya dia seorang CEo di sebuah perusahaan asing besar yang bergerak di bidang bangunan. Menurut sebagian orang, terutama tetangga dan keluarganya (mungkin), usia semuda itu dia sudah sukses, karirnya melejit, berkat isi dari amplop berwarna coklat yang dititipkan kepada kenalan ayahnya. Gajinya melimpah, belum jatah potongan dari upah pegawai lapangannya. Bagi sebagian perempuan dia adalah lelaki idaman. Menjanjikan masa depan, eh dia sudah beristeri. Meskipun begitu, ada beberapa perempuan yang masih rela merebutkannya.

Ssssttt jangan bilang-bilang, sebelum di atas mimbar ini, dia bertengkar hebat dengan isterinya yang terpaksa dipersunting karena sudah hamil 5 bulan. Tadi istrerinya marah karena ternyata, dia menghamili salah seorang mahasiswi kampus terkenal, dan mahasiswi itu sekarang ada dikerumunan ini. Kabar ini didapat dari pembantunya yang bahenol, yang ternyata, setiap seminggu dua kali digauli. Tunggu saja kabar kehamilannya.

"Rezim ini tidak pro Rakyat, semua serba mahal!" Dia berapi-api. Tangan kanannya mengepal dan sesekali diangkat ke udara. Seolah menjadi rakyat paling hebat. Sedangkan dia masih mengeluh sampai memaki pegawai PLN karena kenaikan tarif listrik. Padahal dia sudah merekayasa MCB listrik di rumahnya. "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat...." teriaknya. Entah dia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, kalau tiga rumah di belakang rumahnya ada satu keluarga yang jangankan untuk sekolah. Untuk bisa makan saja sudah merupakan karunia. Sempat dia disinggung tentang ini, dia jawab dengan nyinyir kalau keluarga itu memang sudah nasibnya.

Besok adalah hari kemerdekaan negeri ini. Dia menyerukan perubahan. Entah untuk kebaikan atau sebaliknya. Dia tidak pernah merdeka. Dalam dirinya selalu terjajah oleh sombong, iri, dan bangga menjadi penghasut. Merdeka baginya adalah asalkan kepentingannya lancar, toh rakyat sudah biasa lapar.

"Merdeka, itu kita terbebas dari rasa benci dan mulai saling menyayangi." adalah kalimat penutupnya di atas mimbar.

MAN. Berintan, Agustus 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bermain Tarik-Tarikan #2

Ketika Mempuisikan Kamu

Alasan Mencintaimu

Kisah Cinta

Surat Terakhir

Keinginanku dan Keinginanmu

Rumah 2

Tentang Langit #1

Pendakian

Setelah Sampai Rumah