Puncak Setelah Kepergianmu

Sepanjang perjalanan aku membayangkan bagaimana jika bumi ini sudah tak ada pepohonan? Apa yang kelak akan aku ceritakan kepada anak cucuku? Sebab aku berencana menikah dan punya anak banyak. Baiklah sekedarnya saja, aku bisa menikmati hal lainnya dan menceritakan hal lainnya pula. Tapi apa mungkin aku akan menceritakan budaya pacaran yang menurutku aneh; setiap yang sudah berpacaran, mereka menutup diri kepada yang lainnya. Beberapa kali pula aku tak dapat kesempatan karena jawaban yang sama "Aku sudah punya pacar." Apa mungkin kasih sayang kita hanya untuk satu manusia saja? Ah itu tidak mungkin. Kalaupun iya, itu hal di luar kewajaran. Atau aku bisa menceritakan bahwa manusia sekarang tergantung oleh selempeng benda yang disebut gadget, yang membuat kita lupa pada sesama, dan membuat kita menyerahkan seluruh aktifitas, pikiran, bahkan kasihnya kepada benda itu. Entahlah, apa itu tidak terlalu membosankan untuk diceritakan?

Akupun sudah tidak sepakat dengan segala hal tentang dualisme. Karena ketika ada postif selalu ada negatif. Itu pasti. Termasuk berpikir positif. Ketika ada harap pasti ada kecewa, semakin besar harap semakin besar kecewa. Semakin besar postitif semakin besar pula negatif. Mungkin aku tidak perlu menceritakan tentang ini kepada anakku. Aku hanya ingin mereka siap dengan keadaan apapun yang akan menimpa mereka. Aku juga sudah lelah dengan segala kepura-puraan di bawah sana yang sudah dianggap lumrah. Entah karena alasan etika, atau memang pengecut. Seringkali kita selalu manis di depan namun mengabarkan aib di belakangnya. Hematku sih, kalau memang benci sudah berantem saja, lihat siapa yang kalah. Kalau bisa memaafkan dan kembali berkawan, kalau tidak bisa ya sudah jadi musuh saja. Daripada kawan atau musuh tiada beda.

Di tengah perjalanan, aku sempat ingin menyerah. Seketika langit gelap seolah melahapku dengan buas. Aku abaikan semuanya. Bagiku, tidak adanya kamu, dunia ini sudah tak berarti. Sia-sia adalah kata yang tepat untuk menggambarkan hidup. Namun ada pilihan yang membuatku kembali bangkit. Diam berarti mati, bergerak pun berarti mati tapi lebih banyak yang bisa dinikmati. Puncak sebentar lagi.

Aku sampai sini saat senja. Sebelum matahari terbenam menuju temaram. Namun kamu masih bisa menikmati gumpalan-gumpalan awan berarak dari utara ke selatan. Berbaris rapi menuju matahati, yang semoga tidak tenggelam seperti matahari senja ini. Kamu juga bisa menikmati gradasi warna kuning, merah, biru, dan hitam. Paduan cerah dan gelap memang selalu memukau. Kadang aku kembali terenyuh saat segumpal awan membentuk wajahmu. Mungkin aku yang hanya terlalu mengingatmu dan merindukanmu saja, sehingga awan itu nampak seperti wajahmu. Rindu itu yang bersemayam pada diriku begitu dalam. Rindu itu menjadi penggantimu, memberi pelita untuk terus melangkah dan terus berbuat baik. Bukan aku tak bisa beranjak darimu. Kamu pasti lebih paham soal rindu, dan bagaimana mengaplikasikannya. Saat sendiri harus melakukan apa, dan saat berkumpul harus melakukan apa, kamu sudah sangat hafal soal itu. Aku ingin menirumu. Karena aku merasa, kamu tidak pernah pergi bahkan jika hanya sejengkal. Kamu semakin dekat denganku. Seirama dengan denyut nadiku, bersama dengan sel-sel ertrosit yang membawa oksigen ke sekujur tubuhku. Kamu bersemayan pada avelousku. Kamu menjelma neurotransmitter di dalam otakku. Kamu ada di setiap detak jantungku. Sampai berjumpa lagi, di suatu tempat yang sudah pasti indah. Karena di manapun tempatnya akan indah bagiku jika kamu ada.

MAN. Ciremai. Agustus 2017

Untuk seorang wanita yang entah malaikat atau lebih mulia lagi. Aku tahu kamu akan selalu bahagia, di manapun kamu berada. Merindukanmu, Bunda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bermain Tarik-Tarikan #2

Ketika Mempuisikan Kamu

Alasan Mencintaimu

Kisah Cinta

Surat Terakhir

Keinginanku dan Keinginanmu

Rumah 2

Tentang Langit #1

Pendakian

Setelah Sampai Rumah