Surat Cinta Untuk Siapa

Sebelum terlelap, dia bercerita panjang lebar. Tentang nestapa dan derita yang dia dera. Seorang perempuan dengan mata secerah mentari pagi menemaninya saat dia belum sama sekali mengerti apa itu cinta. Warnanya, aromanya, gerak melingkarnya, serta rekahan dan pecahannya. Amuk, dan amarah kerap bersandang dengan pakaian kusut yang tak sempat disetrika, atau sekedar disemprotkan parfum pun tidak. Saling mengikat, dan melingkarkan rantai dikira adalah cara terbaik mempertahankan sebuah hubungan yang selalu menjadi prioritas utama. Sesuatu yang paling berharga akan selalu didekap. Pikirnya dulu. Ku lirik jam pada dinding putih penuh kaligrafi menunjukan angka 01.08. Aku membaca secarik kertas yang dia tunjukan padaku sebelumnya. Sebuah tulisan terakhir yang dikirimkan perempuan berhati telaga padanya.

"Surat Cinta Untuk Siapa

Pernah suatu pagi, saat kau masih terlelap dalam mimpi. Aku mengecup keningmu mesra. Semua ini tidak akan berakhir, sangkaku saat itu. Menjadi makhluk merdeka memang menyenangkan. Namun penuh jebakan tak terduga. Benar katamu, lelaki itu berhasil mengikat mimpi-mimpiku. Tapi tenang, hatiku utuh untuk kamu. Aku diburu sesak di dada setelah mengecup keningnmu. Bulan demi bulan larut dalam sebuah botol plastik berwarna merah pekat. Aku berdesis, pada malam tanpa rembulan. Aku telah salah sangka pada kehidupan ini. Segala bahagiaku yang kau perjuangkan ternyata hanya sekilas pesawahan tebu dari balik jendela kereta api yang melaju 120 km/jam. Begitu indah namun cepat berlalu. Kamu pun nampak sudah kehilangan cara untuk membahagiakan aku. Karena ternyata malam datang juga. Mencuri pemandangan yang sebelumnya selalu kau sajikan. Bagimu malam penuh dengan ancaman. Tidak bagiku, justru malam membuatku tenang. Paling tidak aku bisa terlelap dan bermimpi. Persis saat keningmu aku cium.

Aku sih sebenarnya tak suka muluk-muluk. Namun pagiku dan dorongan dari orang tuaku membuat aku harus menggenggam sesuatu yang lebih dari sekedar mimpi. Paling tidak, mimpi yang menjadi nyata. Lelaki itu berani memastikan. Sedangkan kamu, hidupmu seperti buku catatan yang baru aku beli untuk menulis ini. Kosong. Bodohnya lagi, polos. Boro-boro tawaran rumah yahud dipenuhi anggrek dan melati, sekedar mengajakku piknik ke pantai saja kamu mengeluh soal santap dan bahan bakar..."

Aku tidak berani melanjutkan. Aku hanya berpikir kenapa dia masih mampu menyimpan surat yang menjadi pintu gerbang seluruh penderitaannya? Aku masih ingat keluhnya saat dia mengatakan. "Kenapa saat aku sudah mengerti cinta, tidak ada siapapun yang mau menerima?" sebagai sahabatnya aku tidak bisa menjawab apa-apa. Aku langsung menuju paragraf terakhir surat ini.

"Surat cinta ini untuk siapa, sedangkan cinta sudah tidak bisa menawarkan apa-apa selain meninggalkanmu dalam keadaan segelap ini. Karena bulan sudah lama larut. Cinta, dan hatiku utuh untukmu. Hanya ragaku, butuh seseorang yang bisa memberi kepastian untuk mewujudkan kebahgian yang lebih lama dari sekedar pemandangan dari kaca jendela kereta api. Akhir kata, lanjutkan hidupmu seperti yang kamu mau."

Kini aku mengerti keadaannya. Tapi aku tak bisa berkata dan berbuat apa-apa. Bahkan sekedar menghabiskan sisa malam.

MAN. Berintan, Agustus 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bermain Tarik-Tarikan #2

Ketika Mempuisikan Kamu

Alasan Mencintaimu

Kisah Cinta

Surat Terakhir

Keinginanku dan Keinginanmu

Rumah 2

Tentang Langit #1

Pendakian

Setelah Sampai Rumah